Koperasi adalah Badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang beradasarkan atas dasar asas kekeluargaan.
Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 Pasal 4 dijelaskan bahwa fungsi dan peran koperasi sebagai berikut:
Membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosialnya.
Berperan serta secara aktif dalam upaya mempertinggi kualitas kehidupan manusia dan masyarakat.
Memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional dengan koperasi sebagai soko-gurunya.
Berusaha untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional, yang merupakan usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
APA PRINSIP KOPERASI ?
(UU No. 25 tahun 1992 tentang perkoperasian indonesia)
Keanggotaanya sukarela dan terbuka. Yang keanggotaanya bersifat sukarela terbuka bagi semua orang yang bersedia mengunakan jasa jasanya, dan bersedia menerima tanggung jawab keanggotaan tanpa membedakan gender.
Pengawasan oleh anggota secara Demokratis. Anggota yang secara aktif menetapkan kebijakan dan membuat keputusan. Laki laki dan perempuan yang dipilih sebagai pengurus atau pengawas bertanggung jawab kepada rapat anggota. Dalam koperasi primer, anggota memiliki hak suara yang sama (satu anggota satu suara). Pada tingkatan lain koperasi juga dikelola secara demokratis.
Partisipasi anggota dalam kegiatan ekonomi. Anggota menyetorkan modal mereka secara adil dan melakukan pengawasan secara demokratis. Sebagian dari modal tersebut adalah milik bersama. Bila ada balas jasa terhadap modal diberikan secara terbatas. Anggota mengalokasikan SHU untuk beberapa atau semua tujuan seperti di bawah ini :
Mengembangkan koperasi. Caranya dengan membentuk dana cadangan, yang sebagian dari dana itu tidak dapat dibagikan.
Dibagikan kepada anggota. Caranya seimbang berdasarkan transaksi mereka dengan koperasi.
Mendukung kegiatan lainnya yang disepakati dalam rapat anggota.
Otonomi dan kemandirian. Koperasi adalah organisasi yang otonom dan mandiri yang di awasi oleh anggotanya. Dalam setiap perjanjian dengan pihak luar ataupun dalam, syaratnya harus tetap menjamin adanya upaya pengawasan demokratis dari anggota dan tetap mempertahankan otonomi koperasi.
Pendidikan, Pelatihan, dan Informasi. Tujuanya adalah agar mereka dapat melaksanakan tugas dengan lebih efektif bagi perkembangan koperasi. Koperasi memberikan informasi kepada masyarakat umum, mengenai hakekat dan manfaat berkoperasi.
Kerja sama antar koperasi. Dengan bekerja sama secara lokal, nasional, regional dan internasional maka gerakan koperasi dapat melayani anggotanya dengan efektif serat dapat memperkuat gerakan koperasi.
Kepedulian terhadap masyarakat. Koperasi melakukan kegiatan untuk pengembangan masyarakat sekitarnya secara berkelanjutan melalui kebikjakan yang diputuskan oleh rapat anggota.
menjadi tulisan bagi elegi keperihan
remang-remang nasib
gelap hitam perbuatan
fatamograna hidup
gulita matahari
jeritan kerja
dan mayat kata-kata ada disini!
Kini dalam doa hitam renungan
Renungan-renungan hambar dan secarik ketidakpastian menikamku tanpa ampun.
Pulang adalah menziarahi makam kenangan
Kemana kamu torehkan arwahku, rohku menuntut balas padamu yang menciptakan kesia-siaan.
Kini dalam kafan kegelapan, merindukan
Kembali cahaya pembebasan dan nafas sakti, ilham surga, kedamaian dan janji
Bahasa Sunda merupakan bahasa yang diciptakan dan digunakan oleh orang Sunda
dalam berbagai keperluan komunikasi kehidupan mereka. Tidak diketahui
kapan bahasa ini lahir, tetapi dari bukti tertulis yang merupakan
keterangan tertua, berbentuk prasasti berasal dari abad ke-14.
Prasasti dimaksud di temukan di Kawali Ciamis, dan ditulis pada batu
alam dengan menggunakan aksara dan Bahasa Sunda (kuno). Diperkirakan
prasasti ini ada beberapa buah dan dibuat pada masa pemerintahan Prabu
Niskala Wastukancana (1397-1475).
Salah satu teks prasasti tersebut berbunyi “Nihan tapak walar nu
siya mulia, tapak inya Prabu Raja Wastu mangadeg di Kuta Kawali, nu
mahayuna kadatuan Surawisésa, nu marigi sakuliling dayeuh, nu najur
sakala désa. Ayama nu pandeuri pakena gawé rahayu pakeun heubeul jaya
dina buana” (inilah peninggalan mulia, sungguh peninggalan Prabu Raja
Wastu yang bertakhta di Kota Kawali, yang memperindah keraton
Surawisesa, yang membuat parit pertahanan sekeliling ibukota, yang
menyejahterakan seluruh negeri. Semoga ada yang datang kemudian
membiasakan diri berbuat kebajikan agar lama berjaya di dunia).
Dapat dipastikan bahwa Bahasa Sunda telah digunakan secara lisan
oleh masyarakat Sunda jauh sebelum masa itu. Mungkin sekali Bahasa
Kw’un Lun yang disebut oleh Berita Cina dan digunakan sebagai bahasa
percakapan di wilayah Nusantara sebelum abad ke-10 pada masyarakat Jawa Barat kiranya adalah Bahasa Sunda (kuno), walaupun tidak diketahui wujudnya.
Bukti penggunaan Bahasa Sunda (kuno) secara tertulis, banyak
dijumpai lebih luas dalam bentuk naskah, yang ditulis pada daun
(lontar, enau, kelapa, nipah) yang berasal dari zaman abad ke-15 sampai
dengan 180. Karena lebih mudah cara menulisnya, maka naskah lebih
panjang dari pada prasasti. Sehingga perbendaharaan katanya lebih
banyak dan struktur bahasanya pun lebih jelas. Contoh bahasa Sunda yang
ditulis pada naskah adalah sebagai berikut:
(1) Berbentuk prosa pada Kropak 630 berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518) “Jaga rang héés tamba tunduh, nginum twak tambahanaang, nyatu tamba ponyo, ulah urang kajongjonan. Yatnakeun maring kuhanteu” (Hendaknya kita tidur sekedar penghilang kantuk, minum tuak sekedar penghilang haus, makan sekedar penghilang lapar, janganlah berlebih-lebihan. Ingatlah bila suatu saat kita tidak memiliki apa-apa!)
(2) Berbentuk puisi pada Kropak 408 berjudul Séwaka Darma (abad ke-16) “Ini kawih panyaraman, pikawiheun ubar keueung, ngaranna pangwereg darma, ngawangun rasa sorangan, awakaneun sang sisya, nuhuning Séwaka Darma” (Inilah Kidung nasihat, untuk dikawihkan sebagai obat rasa takut, namanya penggerak darma, untuk membangun rasa pribadi, untuk diamalkan sang siswa, yang paham Sewaka Darma).
Tampak sekali bahwa Bahasa Sunda pada masa itu banyak dimasuki
kosakata dan dipengaruhi struktur Bahasa Sanskerta dari India. Setelah
masyarakat Sunda mengenal, kemudian menganut Agama Islam, dan
menegakkan kekuasaan Agama Islam di Cirebon dan Banten sejak akhir abad
ke-16. Hal ini merupakan bukti tertua masuknya kosakata Bahasa Arab ke
dalam perbendaharaan kata Bahasa Sunda.
Di dalam naskah itu terdapat 4 kata yang berasal dari Bahasa Arab
yaitu duniya, niyat, selam (Islam), dan tinja (istinja). Seiring dengan
masuknya Agama Islam kedalam hati dan segala aspek kehidupan masyarakat
Sunda, kosa kata Bahasa Arab kian banyak masuk kedalam perbendaharaan
kata Bahasa Sunda dan selanjutnya tidak dirasakan lagi sebagai kosakata
pinjaman. Kata-kata masjid, salat, magrib, abdi, dan saum, misalnya telah
dirasakan oleh orang Sunda, sebagaimana tercermin pada perbendaharaan
bahasanya sendiri. Pengaruh Bahasa Jawa sebagai bahasa tetangga dengan
sesungguhnya sudah ada sejak Zaman Kerajaan Sunda, sebagaimana
tercermin pada perbendaharaan bahasanya. Paling tidak pada abad abad
ke-11 telah digunakan Bahasa dan Aaksara Jawa dalam menuliskan Prasasti
Cibadak di Sukabumi. Begitu pula ada sejumlah naskah kuno yang
ditemukan di Tatar Sunda ditulis dalam Bahasa Jawa, seperti Siwa Buda,
Sanghyang Hayu.
Namun pengaruh Bahasa Jawa dalam kehidupan berbahasa masyarakat
Sunda sangat jelas tampak sejak akhir abad ke-17 hingga pertengahan
abad ke-19 sebagai dampak pengaruh Mataram memasuki wilayah ini. Pada
masa itu fungsi Bahasa Sunda sebagai bahasa tulisan di kalangan kaum
elit terdesak oleh Bahasa Jawa, karena Bahasa Jawa dijadikan bahasa resmi
dilingkungan pemerintahan. Selain itu tingkatan bahasa atau Undak Usuk
Basa dan kosa kata Jawa masuk pula kedalam Bahasa Sunda mengikuti pola
Bahasa Jawa yang disebut Unggah Ungguh Basa.
Dengan penggunaan penggunaan tingkatan bahasa terjadilah
stratifikasi social secara nyata. Walaupun begitu Bahasa Sunda tetap
digunakan sebagai bahasa lisan, bahasa percakapan sehari-hari
masyarakat Sunda. Bahkan di kalangan masyarakat kecil terutama
masyarakat pedesaan, fungsi bahasa tulisan dan bahasa Sunda masih tetap
keberadaannya, terutama untuk menuliskan karya sastera WAWACAN dengan menggunakan Aksara Pegon.
Sejak pertengahan abad ke 19 Bahasa Sunda mulai digunakan lagi
sebagai bahasa tulisan di berbagai tingkat sosial orang Sunda, termasuk
penulisan karya sastera. Pada akhir abad ke 19 mulai masuk pengaruh
Bahasa Belanda dalam kosakata maupun ejaan menuliskannya dengan aksara
Latin sebagai dampak dibukanya sekolah-sekolah bagi rakyat pribumi oleh pemerintah.
Pada awalnya kata BUPATI misalnya, ditulis boepattie seperti ejaan
Bahasa Sunda dengan menggunakan Aksara Cacarakan (1860) dan Aksara
Latin (1912) yang dibuat oleh orang Belanda. Selanjutnya, masuk pula
kosakata Bahasa Belanda ke dalam Bahasa Sunda, seperti sepur, langsam,
masinis, buku dan kantor.
Dengan diajarkannya di sekolah-sekolah dan menjadi bahasa komunikasi
antar etnis dalam pergaulan masyarakat, Bahasa Melayu juga merasuk dan
mempengaruhi Bahasa Sunda. Apalagi setelah dinyatakan sebagai bahasa
persatuan dengan nama Bahasa Indonesia pada Tahun 1928. Sejak tahun
1920-an sudah ada keluhan dari para ahli dan pemerhati Bahasa Sunda,
bahwa telah terjadi Bahasa Sunda Kamalayon, yaitu Bahasa Sunda
bercampur Bahasa Melayu.
Sejak tahun 1950-an keluhan demikian semakin keras karena pemakaian
Bahasa Sunda telah bercampur (direumbeuy) dengan Bahasa Indonesia
terutama oleh orang-orang Sunda yang menetap di kota-kota besar,
seperti Jakarta bahkan Bandung sekalipun. Banyak orang Sunda yang
tinggal di kota-kota telah meninggalkan pemakaian Bahasa Sunda dalam
kehidupan sehari-hari di rumah mereka. Walaupun begitu, tetap muncul
pula di kalangan orang Sunda yang dengan gigih memperjuangkan
keberadaan dan fungsionalisasi Bahasa Sunda di tengah-tengah
masyarakatnya dalam hal ini Sunda dan Jawa Barat. Dengan semakin
banyaknya orang dari keluarga atau suku bangsa lain atau etnis lain
yang menetap di Tatar Sunda kemudian berbicara dengan Bahasa Sunda
dalam pergaulan sehari-harinya. Karena itu, kiranya keberadaan Bahasa
BOGOR – Kota Bogor mempunyai sejarah yang panjang dalam Pemerintahan,mengingat sejak zaman Kerajaan Pajajaran sesuai dengan bukti-bukti yang ada seperti dari Prasasti Batu Tulis, nama-nama kampung seperti dikenal dengan nama Lawanggintung, Lawang Saketeng, Jerokuta, Baranangsiang dan Leuwi Sipatahunan diyakini bahwa Pakuan sebagai Ibukota Pajajaran terletak di Kota Bogor.
Pakuan sebagai pusat Pemerintahan Pajajaran terkenal pada pemerintahan Prabu Siliwangi (Sri Baginda Maharaja) yang penobatanya tepat pada tanggal 3 Juni 1482, yang selanjutnya hari tersebut dijadikan hari jadi Bogor, karena sejak tahun 1973 telah ditetapkan oleh DPRD Kabupaten dan Kota Bogor sebagai hari jadi Bogor dan selalu diperingati setiap tahunnya sampai sekarang.
Sebagai akibat penyerbuan tentara Banten ke Pakuan Pajajaran catatan mengenai Kota Pakuan tersebut hilang, baru terungkap kembali setelah datangnya rombongan ekspidisi orang-orang Belanda yang dipimpin oleh Scipio dan Riebeck pada tahun 1687, dan mereka meneliti Prasasti Batutulis dan situs-situs lainya yang meyakini bahwa di Bogorlah terletak pusat Pemerintahan Pakuan Pajajaran.
Pada tahun 1745 Gubernur Jendral Hindia Belanda pada waktu itu bernama Baron Van Inhoff membangun Istana Bogor, seiring dengan pembangunan jalan Raya Daendless yang menghubungkan Batavia dengan Bogor, sehingga keadaan Bogor mulai bekembang.
Pada masa pendudukan Inggris yang menjadi Gubernur Jendralnya adalah Thomas Rafless, beliau cukup berjasa dalam mengembangkan Kota Bogor, dimana Istana Bogor direnovasi dan sebagian tanahnya dijadikan Kebun Raya (Botanical Garden), beliau juga memperkejakan seorang Planner yang bernama Carsens yang menata Bogor sebagai tempat peristirahatan yang dikenal dengan Boeitenzorg.
Setelah Pemerintahan kembali kepada Hindia Belanda pada tahun 1903, terbit Undang-undang Desentralisasi yang bertujuan menghapus sistem pemerintahan tradisional diganti dengan sistem administrasi pemerintahan modern sebagai realisasinya dibentuk Staadsgemeente diantaranya adalah:
1. Gemeente Batavia ( S. 1903 No.204 )
2. Gemeente Meester Cornelis ( S. 1905 No.206 )
3. Gemeente Boeitenzorg ( S. 1905 No.208 )
4. Gemeente Bandoeng ( S. 1906 No.121 )
5. Gemeente Cirebon ( S. 1905 No.122 )
6. Gemeente Soekabumi ( S. 1914 No.310 )
(Regeringsalmanak Voor Nederlandsh Indie 1928 : 746-748)
Pembentukan Gemeente tersebut bukan untuk kepentingan penduduk Pribumi tetapi untuk kepentingan orang-orang Belanda dan masyarakat Golongan Eropa dan yang dipersamakan (yang menjadi Burgermeester dari Staatsgemeente Boeitenzorg selalu orang-orang Belanda dan baru tahun 1940 diduduki oleh orang Bumiputra yaitu Mr. Soebroto).
Pada tahun 1922 sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap peran desentralisasiyang ada maka terbentuklah Bestuursher Voorings Ordonantie atau Undang-undang perubahan tata Pemerintahan Negeri Hindia Belanda (Staatsblad 1922 No. 216), sehinga pada tahun 1992 terbentuklah Regentschaps Ordonantie (Ordonantie Kabupaten) yang membuat ketentuan-ketentuan daerah Otonomi Kabupaten (Staatsblad 1925 No. 79).
Propinsi Jawa Barat dibentuk pada tahun 1925 (Staatsblad 1924 No. 378 bij Propince West Java) yang terdiri dari 5 keresidenan, 18 Kabupaten (Regentscape) dan Kotapraja (Staads Gemeente), dimana Boeitenzorg (Bogor) salah satu Staads Gemeente di Propinsi Jawa Barat di bentuk berdasarkan (Staatsblad 1905 No. 208 jo. Staatsblad 1926 No. 368), dengan pripsip Desentralisasi Modern, dimana kedudukan Bugermeester menjadi jelas.
Pada masa pendudukan Jepang kedudukan pemerintahan di Kota Bogor menjadi lemah karena pemerintahan dipusatkan pada tingkat keresidenan yang berkedudukan di Kota Bogor, pada masa ini nama-nama lembaga pemerintahan berubah namanya yaitu: Keresidenan menjadi Syoeoe, Kabupaten/Regenschaps menjadi ken, Kota/Staads Gemeente menjadi Si, Kewedanaan menjadi/Distrik menjadi Gun, Kecamatan/Under Districk menjadi Soe dan desa menjadi Koe.
Pada masa setelah kemerdekaan, yaitu setelah pengakuan kedaulatan RI Pemerintahan di Kota Bogor namanya menjadi Kota Besar Bogor yang dibentuk berdasarakan Udang-undang Nomor 16 Tahun 1950.
Selanjutnya pada tahun 1957 nama pemerintahan berubah menjadi Kota Praja Bogor, sesuai dengan Undang-undang Nomor. 1 Tahun 1957, kemudian dengan Undang-undang Nomor 18 tahun 1965 dan Undang-undang No. 5 Tahun 1974 berubah kembali menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor.
Dengan diberlakukanya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Kotamadya Daerah Tingkat II Bogor dirubah menjadi Kota Bogor. [sumber: website pemkot Bogor]
Masyarakat Jawa Barat yang mayoritas beretnis Sunda memiliki lambang daerah berupa gambar yang di tengahnya menampilkan senjata tradisional yang disebut kujang. Kujang adalah senjata tradisional berupa senjata tajam yang bentuknya menyerupai keris, parang, dengan bentuk unik berupa tonjolan pada bagian pangkalnya, bergerigi pada salah satu sisi di bagian tengahnya dan bentuk lengkungan pada bagian ujungnya. Bagi masyarakat Sunda, kujang lebih umum dibandingkan dengan keris.
Kujang tidak hanya dipakai untuk lambang daerah tapi juga dipakai untuk nama perusahaan (Pupuk Kujang, Semen Kujang), nama kampung (Parungkujang, Cikujang, Kujangsari, Parakankujang), nama batalion (Batalyon Kujang pada Kodam III/Siliwangi), nama tugu peringatan (Tugu Kujang di Bogor, Tugu Kujang Bale Endah), dan lain-lain.
Popularitas kujang bagi masyarakat etnis Sunda sudah tidak disangsikan lagi. Akan tetapi, ironisnya, eksistensi kujang baik sebagai perkakas maupun sebagai pusaka mulai sirna. Kujang kini hanya berada di museum-museum dengan jumlah yang relatif sedikit dan dimiliki oleh para sesepuh atau budayawan yang masih mencintai kujang sebagai pusaka leluhurnya.
Pada masyarakat etnis Sunda ada kelompok yang masih akrab dengan kujang dalam pranata kehidupan sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” yang tersebar di Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor, di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, dan masyarakat Sunda Wiwitan Urang Kanekes (Baduy) di Kabupaten Lebak.
Kujang (Kujang Pamangkas) dalam lingkungan budaya mereka masih digunakan untuk upacara nyacar (menebang pohon untuk lahan huma) setahun sekali. Sebagai patokan pelaksanaan nyacar tersirat dalam ungkapan unggah kidang turun kujang yang artinya jika bintang kidang (orion) muncul di ufuk timur waktu subuh, pertanda waktu nyacar telah tiba dan kujang digunakan sebagai pembuka kegiatan perladangan.
Bukti keberadaan kujang diperoleh dari naskah kuno di antaranya Serat Manik Maya dengan istilah kudi, Sanghyang Siksakandang Karesian dengan istilah kujang, dan dari berita pantun Pajajaran Tengah (Pantun Bogor).
Kujang adalah pusaka tradisi Sunda, sejarah yang menceritakan awal keberadaannya masih belum terungkap. Kalau saja Kerajaan Salakanagara yang merupakan kerajaan tertua di Jawa sebagai cikal bakal lahirnya kujang, diyakini keberadaan kujang sudah sangat tua. Alasan tersebut diperkuat bahwa apabila kujang yang diperkirakan sebagai alat perladangan atau pertanian maka Kerajaan Tarumanegara pada abad IV sudah mampu menata sistem pertanian secara baik dengan dibangunnya sistem irigasi untuk perladangan dan pertanian, mungkin kujang sudah hadir dalam konteks perkakas perladangan atau perkakas pertanian dalam pranata sosial budaya masyarakat pada saat itu. Kujang diakui keberadaannya sebagai senjata khas masyarakat etnis Sunda. Kujang merupakan warisan budaya Sunda pramodern.
Kujang merupakan senjata, ajimat, perkakas, atau benda multifungsi lainnya yang memiliki berbagai ragam bentuk yang menarik secara visual. Kujang dengan keragaman bentuk gaya dengan variasi-variasi struktur papatuk, waruga, mata, siih, pamor, dan sebagainya sangat artistik dan menarik untuk dicermati karena struktur bentuk tersebut belum tentu ada dalam senjata lainnya di nusantara. Kujang sebagai senjata yang memiliki keunggulan visual tadi sekaligus mengundang pertanyaan apakah dalam struktur estetik kujang tadi memiliki makna dan simbol? Berbagai pendapat dari berbagai tokoh masyarakat mengarah ke sana.
Kujang koleksi Sumedang
Sejarah kerajaan yang tumbuh di Sumedang pada masa lalu erat kaitannya dengan Kerajaan Pajajaran. Koleksi kujang Pajajaran yang dimiliki Museum Prabu Geusan Ulun relatif banyak bahkan mungkin paling banyak jika dibandingkan dengan museum-museum yang ada di Jawa Barat atau Indonesia sekalipun. Kujang-kujang tersebut beragam varian Kujang Ciung, beragam varian Kujang Naga, Kujang Kuntul, Kujang Pamangkas, Kujang Wayang, dan sebagainya.
Kujang-kujang yang tersimpan cukup terpelihara dengan baik di mana fisik waruga, pamor, siih, dan mata kujang masih banyak yang utuh. Bahkan, persepsi dari kebanyakan masyarakat bahwa semua kujang berlubang terbantahkan dengan masih adanya beberapa koleksi kujang di museum ini yang masih memiliki penutup lobang atau penutup mata. Mungkin hilangnya penutup lobang karena penutup lobang terbuat dari bahan-bahan yang bernilai seperti logam-logam mulia, permata, dan sejenisnya. Hilangnya pun mungkin diambil atau jatuh akibat dari ceruk lubangnya yang korosif.
Kujang merupakan produk budaya masyarakat peladang. Penamaannya cenderung pada makhluk-makhluk yang banyak hidup di daerah ladang seperti Kujang Ciung dari burung Ciung, Kujang Naga dari ular, Kujang Bangkong dari kodok, Kujang Kuntul dari burung kuntul. Bahkan, Kujang Wayang diperkirakan sebagai simbol untuk kesuburan.
Tokoh wanita pada kujang wayang mengingatkan pada simbol-simbol kesuburan, misalnya patung purba Venus Willendorf di Eropa yang berbentuk manusia berperawakan subur sebagai simbolisasi kesuburan. Tokoh Dewi Sri dikenal sebagai dewi kesuburan. Mencermati secara fisik Kujang Wayang ini pun yang tidak memiliki sisi tajam di bagian tonggong dan beuteung yang mungkin sangat berbeda dengan kujang lainnya (kujang dua pangadekna/kujang memiliki dua sisi yang tajam) diperkirakan untuk kepentingan upacara yang erat kaitannya dengan kepentingan kesuburan.
Kujang yang dikenal oleh masyarakat kita pada umumnya adalah Kujang Ciung. Pada lambang daerah, pada lambang perusahaan pupuk dan semen, pada lambang batalion, pada tugu-tugu dan lain-lain tampak jelas mengindikasi pada bentuk Kujang Ciung. Padahal, kujang memiliki beragam bentuk dan nama yang menyesuaikan bentuk tersebut. Beragam bentuk dan nama diperkirakan memiliki simbol yang dipakai dalam tatanan masa keemasan kujang yaitu masa kerajaan Sunda Pajajaran.
Istilah kujang sendiri memiliki banyak penafsiran, salah satunya ada yang mengatakan bahwa kujang berasal dari kata kudi dan hyang yaitu kudi yang dianggap disucikan. Hal tersebut mengacu pada perkembangan senjata kudi yang banyak ditemukan di daerah Pulau Jawa dan Madura. (Suryadi Maskat, S.Pd., M.Sn., dosen Pendidikan Seni Rupa FPBS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung)***
Masyarakat Jawa Barat yang mayoritas beretnis Sunda memiliki lambang daerah berupa gambar yang di tengahnya menampilkan senjata tradisional yang disebut kujang. Kujang adalah senjata tradisional berupa senjata tajam yang bentuknya menyerupai keris, parang, dengan bentuk unik berupa tonjolan pada bagian pangkalnya, bergerigi pada salah satu sisi di bagian tengahnya dan bentuk lengkungan pada bagian ujungnya. Bagi masyarakat Sunda, kujang lebih umum dibandingkan dengan keris.
Kujang tidak hanya dipakai untuk lambang daerah tapi juga dipakai untuk nama perusahaan (Pupuk Kujang, Semen Kujang), nama kampung (Parungkujang, Cikujang, Kujangsari, Parakankujang), nama batalion (Batalyon Kujang pada Kodam III/Siliwangi), nama tugu peringatan (Tugu Kujang di Bogor, Tugu Kujang Bale Endah), dan lain-lain.
Popularitas kujang bagi masyarakat etnis Sunda sudah tidak disangsikan lagi. Akan tetapi, ironisnya, eksistensi kujang baik sebagai perkakas maupun sebagai pusaka mulai sirna. Kujang kini hanya berada di museum-museum dengan jumlah yang relatif sedikit dan dimiliki oleh para sesepuh atau budayawan yang masih mencintai kujang sebagai pusaka leluhurnya.
Pada masyarakat etnis Sunda ada kelompok yang masih akrab dengan kujang dalam pranata kehidupan sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda “Pancer Pangawinan” yang tersebar di Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor, di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, dan masyarakat Sunda Wiwitan Urang Kanekes (Baduy) di Kabupaten Lebak.
Kujang (Kujang Pamangkas) dalam lingkungan budaya mereka masih digunakan untuk upacara nyacar (menebang pohon untuk lahan huma) setahun sekali. Sebagai patokan pelaksanaan nyacar tersirat dalam ungkapan unggah kidang turun kujang yang artinya jika bintang kidang (orion) muncul di ufuk timur waktu subuh, pertanda waktu nyacar telah tiba dan kujang digunakan sebagai pembuka kegiatan perladangan.
Bukti keberadaan kujang diperoleh dari naskah kuno di antaranya Serat Manik Maya dengan istilah kudi, Sanghyang Siksakandang Karesian dengan istilah kujang, dan dari berita pantun Pajajaran Tengah (Pantun Bogor).
Kujang adalah pusaka tradisi Sunda, sejarah yang menceritakan awal keberadaannya masih belum terungkap. Kalau saja Kerajaan Salakanagara yang merupakan kerajaan tertua di Jawa sebagai cikal bakal lahirnya kujang, diyakini keberadaan kujang sudah sangat tua. Alasan tersebut diperkuat bahwa apabila kujang yang diperkirakan sebagai alat perladangan atau pertanian maka Kerajaan Tarumanegara pada abad IV sudah mampu menata sistem pertanian secara baik dengan dibangunnya sistem irigasi untuk perladangan dan pertanian, mungkin kujang sudah hadir dalam konteks perkakas perladangan atau perkakas pertanian dalam pranata sosial budaya masyarakat pada saat itu. Kujang diakui keberadaannya sebagai senjata khas masyarakat etnis Sunda. Kujang merupakan warisan budaya Sunda pramodern.
Kujang merupakan senjata, ajimat, perkakas, atau benda multifungsi lainnya yang memiliki berbagai ragam bentuk yang menarik secara visual. Kujang dengan keragaman bentuk gaya dengan variasi-variasi struktur papatuk, waruga, mata, siih, pamor, dan sebagainya sangat artistik dan menarik untuk dicermati karena struktur bentuk tersebut belum tentu ada dalam senjata lainnya di nusantara. Kujang sebagai senjata yang memiliki keunggulan visual tadi sekaligus mengundang pertanyaan apakah dalam struktur estetik kujang tadi memiliki makna dan simbol? Berbagai pendapat dari berbagai tokoh masyarakat mengarah ke sana.
Kujang koleksi Sumedang
Sejarah kerajaan yang tumbuh di Sumedang pada masa lalu erat kaitannya dengan Kerajaan Pajajaran. Koleksi kujang Pajajaran yang dimiliki Museum Prabu Geusan Ulun relatif banyak bahkan mungkin paling banyak jika dibandingkan dengan museum-museum yang ada di Jawa Barat atau Indonesia sekalipun. Kujang-kujang tersebut beragam varian Kujang Ciung, beragam varian Kujang Naga, Kujang Kuntul, Kujang Pamangkas, Kujang Wayang, dan sebagainya.
Kujang-kujang yang tersimpan cukup terpelihara dengan baik di mana fisik waruga, pamor, siih, dan mata kujang masih banyak yang utuh. Bahkan, persepsi dari kebanyakan masyarakat bahwa semua kujang berlubang terbantahkan dengan masih adanya beberapa koleksi kujang di museum ini yang masih memiliki penutup lobang atau penutup mata. Mungkin hilangnya penutup lobang karena penutup lobang terbuat dari bahan-bahan yang bernilai seperti logam-logam mulia, permata, dan sejenisnya. Hilangnya pun mungkin diambil atau jatuh akibat dari ceruk lubangnya yang korosif.
Kujang merupakan produk budaya masyarakat peladang. Penamaannya cenderung pada makhluk-makhluk yang banyak hidup di daerah ladang seperti Kujang Ciung dari burung Ciung, Kujang Naga dari ular, Kujang Bangkong dari kodok, Kujang Kuntul dari burung kuntul. Bahkan, Kujang Wayang diperkirakan sebagai simbol untuk kesuburan.
Tokoh wanita pada kujang wayang mengingatkan pada simbol-simbol kesuburan, misalnya patung purba Venus Willendorf di Eropa yang berbentuk manusia berperawakan subur sebagai simbolisasi kesuburan. Tokoh Dewi Sri dikenal sebagai dewi kesuburan. Mencermati secara fisik Kujang Wayang ini pun yang tidak memiliki sisi tajam di bagian tonggong dan beuteung yang mungkin sangat berbeda dengan kujang lainnya (kujang dua pangadekna/kujang memiliki dua sisi yang tajam) diperkirakan untuk kepentingan upacara yang erat kaitannya dengan kepentingan kesuburan.
Kujang yang dikenal oleh masyarakat kita pada umumnya adalah Kujang Ciung. Pada lambang daerah, pada lambang perusahaan pupuk dan semen, pada lambang batalion, pada tugu-tugu dan lain-lain tampak jelas mengindikasi pada bentuk Kujang Ciung. Padahal, kujang memiliki beragam bentuk dan nama yang menyesuaikan bentuk tersebut. Beragam bentuk dan nama diperkirakan memiliki simbol yang dipakai dalam tatanan masa keemasan kujang yaitu masa kerajaan Sunda Pajajaran.
Istilah kujang sendiri memiliki banyak penafsiran, salah satunya ada yang mengatakan bahwa kujang berasal dari kata kudi dan hyang yaitu kudi yang dianggap disucikan. Hal tersebut mengacu pada perkembangan senjata kudi yang banyak ditemukan di daerah Pulau Jawa dan Madura. (Suryadi Maskat, S.Pd., M.Sn., dosen Pendidikan Seni Rupa FPBS Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung)***
Kini koperasi di Indonesia telah mencatat tiga pola pengembangan koperasi. Yaitu Program pembangunan secara sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD,lalu Lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; dan, Perusahaan baik milik negara maupun swasta dalam koperasi karyawan. Sebagai akibatnya prakarsa masyarakat luas kurang berkembang.
Kemudian dikembangkan dengan dukungan pemerintah dengan basis sektor-sektor primer dan distribusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. Sebagian besar KUD sebagai koperasi program di sektor pertanian didukung dengan program pembangunan untuk membangun KUD. Bahkan koperasi secara eksplisit ditugasi melanjutkan program yang kurang berhasil ditangani langsung oleh pemerintah bahkan bank pemerintah, seperti penyaluran kredit BIMAS menjadi KUT, pola pengadaan beras pemerintah, TRI dan lain-lain sampai pada penciptaan monopoli baru.
Dalam pandangan pengamatan internasional Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian.
Di Indonesia, Koperasi merupakan salah satu tiang penyangga perekonomian nasional selain Badan Usaha Milik Negara (BUMN/D). Maka koperasi sebagai badan usaha dan sekaligus lembaga ekonomi yang mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan yang memiliki nilai jati diri yang berbeda dengan organisasi ekonomi lainnya, maka koperasi diharapkan juga mampu berperan aktif sebagai lembaga yang dapat melaksanakan fungsi-fungsi sosialnya.
Di Indonesia pertumbuhan koperasi dimulai sejak tahun 1896 selanjutnya berkembang dari waktu ke waktu sampai sekarang.Jikalau pertumbuhan koperasi yang pertama di Indonesia menekankan pada kegiatan simpan-pinjam maka selanjutnya tumbuh pula koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang konsumsi dan dan kemudian koperasi yang menekankan pada kegiatan penyediaan barang-barang untuk keperluan produksi.
Perkembangan koperasi dari berbagai jenis kegiatan usaha tersebut selanjutnya ada kecenderungan menuju kepada suatu bentuk koperasi yang memiliki beberapa jenis kegiatan usaha. Koperasi serba usaha ini mengambil langkah-langkah kegiatan usaha yang paling mudah mereka kerjakan terlebih dulu, seperti kegiatan penyediaan barang-barang keperluan produksi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam ataupun kegiatan penyediaan barang-barang keperluan konsumsi bersama-sama dengan kegiatan simpan-pinjam dan sebagainya.
Koperasi diperkenalkan di Indonesia oleh R. Aria Wiriatmadja di
Purwokerto, Jawa Tengah pada tahun 1896. Dia mendirikan koperasi kredit
dengan tujuan membantu rakyatnya yang terjerat hutang dengan rentenir.
Koperasi tersebut lalu berkembang pesat dan akhirnya diikuti Boedi
Oetomo dan SDI.
SISTEMATIS PERTUMBUHAN KOPERASI DI AWAL KEMERDEKAAN
-Sejak kemerdekaan koperasi di Indonesia mengalami suatu perkembangan yang lebih baik. PADA Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 beserta penjelasannya menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Dalam penjelasannya disebutkan bahwa bangun perekonomian yang sesuai dengan azas kekeluargaan tersebut adalah koperasi. Di dalam pasal 33 UUD 1945 tersebut diatur pula di samping koperasi, juga peranan daripada Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Swasta.
-Pada akhir 1946 tercatat sebanyak 2500 buah koperasi di seluruh Indonesia. Kemudian Pemerintah Republik Indonesia bertindak aktif dalam pengembangan perkoperasian. Disamping menganjurkan berdirinya berbagai jenis koperasi Pemerintah RI berusaha memperluas dan menyebarkan pengetahuan tentang koperasi dengan jalan mengadakan kursus-kursus koperasi di berbagai tempat.
-Pada tanggal 12 Juli 1947 diselenggarakan kongres koperasi se Jawa yang pertama di Tasikmalaya. Hasil kongres : terbentuknya Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia yang disingkat SOKRI, tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi serta menganjurkan diselenggarakan pendidikan koperasi di kalangan pengurus, pegawai dan asyarakat.
-pada tanggal 15 sampai dengan 17 Juli 1953 dilangsungkan kongres koperasi Indonesia yang ke II di Bandung. Keputusannya antara lain merubah Sentral Organisasi Koperasi Rakyat Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia (DKI). Di samping itu mewajibkan DKI membentuk Lembaga Pendidikan Koperasi dan mendirikan Sekolah Menengah Koperasi di Provinsi-provinsi. Keputusan yang lain ialah penyampaian saran-saran kepada Pemerintah untuk segera diterbitkannya Undang-Undang Koperasi yang baru serta mengangkat Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
- pada tahun 1956 tanggal 1 sampai 5 September diselenggaraka Kongres Koperasi yang ke III di Jakarta. Keputusan KOngres di samping halhal yang berkaitan dengan kehidupan perkoperasian di Indonesia, juga mengenai hubungan Dewan Koperasi Indonesia dengan International Cooperative Alliance (ICA).
-Pada tahun 1958 diterbitkan Undang-Undang tentang Perkumpulan Koperasi No. 79 Tahun 1958 yang dimuat di dalam Tambahan Lembar Negara RI No. 1669. Undang-Undang ini disusun dalam suasana Undang- Undang Dasar Sementara 1950 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Oktober 1958. Isinya lebih biak dan lebih lengkap jika dibandingkan dengan peraturan-peraturan koperasi sebelumnya dan merupakan Undang-Undang
PERKEMBANGAN KOPERASI DI NEGARA BERKEMBANG
Koperasi sudah berkembang dengan ciri tersendiri, yaitu dominasi campur tangan pemerintah dalam pembinaan dan pengembanganya. Terdapat beberapa tahapan dalam perkembangan koperasi di Negara berkembang :
1. Akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20 para emigrant Eropa mendirikan koperasi pertanian di Argentina, Brazil Selatan, Transvaal,, Rhodesia Selatan,, dan India dengan unsur-unsur konsepsi Reiffeissen.
2. Selama Periode diantara Perang Dunia I dan Perang Dunia II pemerintah colonial Inggris membentuk organisasi koperasi modern atas dasar Pola Pengembangan Koperasi India Inggris, dianggap sebagai suatu model bagi usaha mendorong pengembangan koperasi modern yang diprakarsai oleh rakyat setempat. Di derah yang terdapat hubungan antara koperasi dan pergerakan kemerdekaan Pengusaha Kolonial merasa khawatir jika koperasi dapat tumbuh misalnya di Indonesia dan Kenya.
3. Periode 1945-1960 Konferensi Pangan dan Pertanian International tahun 1943 di Virginia (USA) menekankan pentingnya organisasi koperasi. Untuk mendorong prakarsa pertumbuhan koperasi berbagai kegiatan pemerintah dilakukan selama tahap ini. Kegiatan-kegiatan ini telah dilaksanakan oleh Penguasa Kolonial Inggris, Prancis, dan Afrika. Pemerintah di India dan Indonesia.
4. Periode 1960-1970 dapat diamati suatu penyebaran dan pertambahan jumlah koperasi modern dibanyak Negara berkembang. Banyak pemerintah di Negara Asia dan Amerika Selatan mulai mendorong pembentukan koperasi (dengan bantuan bilateral dan internasional) dan memanfaatkannya sebagai sarana bagi pembangunan pertanian.
5. Organisasi Internasional menekankan peranan koperasi sangat penting dalm pembangunan social ekonomi dan mengusulkan pemerinatah Negara untuk mendorong prakarsa dan pengembangan organisasi swadaya.
Struktur organisasi dan kegiatan koperasi di pedesaan di Negara Dunia Ketiga menunjukan adanya aneka ragam bentuk di berbagai Negara. Jumlah koperasi yang terbesar adalah koperasi yang bersifat memberikan jasa-jasa pelayanan, yang diharapkan menunjang usaha ekonomis para anggotanya dengan menyediakan dan menawarkan barang-barang dan jasa-jasa melalui penyaluran sarana produksi dan barang-barang konsumsi kredit, nasihat, pemasaran, pengolahan dan lain-lain.
Koperasi produksi, koperasi produsen, atau koperasi para pekerja kurang berhasil karena masalah-masalah khusus yang berkaitan dengan jenis koperasi ini sampai saat ini belum dapat diatasi secara praktis. Sesuai dengan fungsi-fungsi ynag dilaksanakan oleh perusahaan koperasi maka bentuk “ Koperasi Serba Usaha” lebih dominan, yang diharapkan dapat menawarkan berbagai jenis bargng dan jasa yang dibutuhkan anggotanya. Untuk meningkatkan efisiensi ekonomis koperasi primer mengadakan amalgamasi menjadi koperasi primer yang lebih besar lagi dan beraplikasi pada organisasi tingkat sekunder atau tertier yang berusaha di tingkat regional dan nasional.
Pemerintah negara berkembang menunjang pembentukan organisasi koperasi modern dan membentuk lembaga pemerintah khusus seperti departemen, direktorat, dan instansi. Lembaga tersebut pendorong pengembangan koperasi yang memperoleh dana dari negara, swasta, atau dari luar negeri untuk membelanjai kegiatannya sebagai swadaya koperasi yang berusaha secara efisien dan berorientasi kepada anggota.
Banyak koperasi yang didirikan dengan bantuan pemerintah atau lembaga tersebut masih berada dalam tahap awal pengembangan structural atau organisasinya belum mampu bertahan sebagai organisasi koperasi swadaya yang otonom tanpa bantuan langsung bidang keuangan dan manajemen dari pemerintah. Hal tersebut disebabkan anggota koperasi pedesaan tergolong masih sangat murni, pendidikannnya rendah, dan kurang informasi.